LDII: Indonesia Butuh Presiden yang Peduli Pembangunan Karakter, Kemandirian Energi, dan Pangan
JAKARTA – LDII pada 13-15 Mei mendatang akan melaksanakan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) yang bertujuan untuk mengevaluasi kinerja organisasi, yang programnya telah disusun pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) di Bogor, Jawa Barat, pada Maret 2011 silam. Rapimnas yang diadakan menjelang pemilihan presiden ini digunakan LDII untuk sekaligus menyampaikan aspirasi dan program kerja kepada calon presiden.
“Ormas bukanlah organisasi yang memiliki hasrat kompetisi, ormas lebih netral dalam melihat persoalan negara dan lebih dekat dengan apa yang dihadapi masyarakat. Dengan begitu kami memiliki solusi untuk memecahkan masalah bangsa,” ujar Ketua DPP LDII Prasetyo Soenaryo yang sekaligus menjabat Ketua Panitia Pengarah Rapimnas DPP LDII. Untuk itulah LDII berkepentingan mengundang para calon presiden untuk saling bertukar pikiran memaparkan visi misi untuk kemajuan Indonesia.
LDII melihat pascareformasi, demokrasi Indonesia justru menciptakan anomali dalam kehidupan berbangsa bernegara. Indonesia yang dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah, bergotong royong, tenggang rasa, dan saling menghormati kini malah dikenali sebagai bangsa yang elit politiknya gemar saling hujat di media massa. Di tingkat akar rumput mulai tumbuh benih-benih tak mentolelir perbedaan dan main hakim sendiri.
Wakil Ketua Panitia Pengarah sekaligus Ketua DPP LDII Chriswanto Santoso melihat rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada elit politik maupun kepada pemerintah, diakibatkan rendahnya pembangunan pembangunan karakter dan rendahnya moralitas bangsa. “Bila generasi muda saat ini dianggap tak memiliki karakter, maka LDII telah menyiapkan pembinaan dan pembentukan karakter bangsa melalui program Penggerak Pembina Generasi Penerus (PPG),” ujar Chriswanto.
PPG memiliki kurikulum yang dirancang oleh para ulama, psikolog, pakar pendidik, dan orangtua untuk menciptakan kurikulum yang ditujukan untuk melahirkan generasi penerus yang unggul sisi karakter, moralitas, termasuk kapasitas dalam berkarya. Tiga target pembinaan generasi muda adalah pertama, memiliki kemandirian sehingga tak memiliki ketergantungan kepada pihak lain, kedua memiliki ilmu agama dan dunia, ketiga memiliki akhlaqul karimah atau akhlak mulia. “Pemimpin yang memiliki tiga karakter tersebut tak akan terombang-ambing dalam dinamika geopolitik, bahkan sebaliknya, mampu membawa nilai-nilai positif keindonesiaan sebagai bangsa,” ujar Chriswanto.
Berbagai hal yang telah dikerjakan LDII dalam menghadapi masalah sosial dan kebangsaan itulah yang dijadikan program kerja yang ditawarkan kepada para capres. “Bila Rapimnas 2004 LDII menyodorkan program untuk perbaikan bangsa, bedanya, program LDII dalam Rapimnas 2009 lebih tajam karena telah dijalankan oleh LDII sekaligus ditunjang oleh kajian Dewan Pakar DPP LDII dan diolah dalam Focus Group Discussion (FGD),” imbuh Chriswanto. Sepanjang April hingga Mei LDII telah melakukan 11 FGD di antaranya mengenai ketahanan dan kedaulatan pangan, energi, lingkungan, PPG, kedaulatan maritim, Pramuka, dll.
Rapimnas untuk Indonesia yang Lebih Bermartabat
Rapimnas yang akan dihadiri sekitar 1.200 peserta yang terdiri dari para ulama, dewan penasehat, pengurus Dewan Perwakilan Pusat (DPP), Dewan Perwakilan Wilayah dari 34 provinsi, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari 350 lebih provinsi dari seluruh Indonesia. Rapimnas DPP LDII mengambil tema Kepemimpinan Profesional-Religius Untuk Mewujudkan Indonesia yang Semakin Bermartabat. Akan dibuka oleh Menteri Agama Suryadharma Ali, dan dihadiri oleh Panglima TNI Moeldoko untuk memberi pembekalan, para capres, Polri, tokoh pers, dll.
Selain mengevaluasi pelaksanaan program mewujudkan sumberdaya manusia yang profesional religius, Rapimnas LDII mengukuhkan dua hal pokok: pertama, mengenai sikap netral aktif LDII dalam percaturan politik Indonesia, dan kedua untuk mengukuhkan eksistensi dalam membangun SDM yang profesional religius. “Netral aktif adalah LDII dalam hal ini tidak terlibat langsung dalam politik praktis, tapi LDII juga tak mau jadi obyek dari politik atau sistem kenegaraan,” ujar Chriswanto. Untuk itulah LDII memanfaatkan momentum Rapimnas untuk memberikan masukan kepada calon presiden terkait kondisi-kondisi bangsa serta kondisi masyarakata berdasarkan kajian-kajian LDII.
Menurut Prasetyo, Rapimnas ini mejadi perkenalan antara LDII dengan calon pemimpin negara lima tahun mendatang. Rapimnas selain mengvaluasi berbagai program, juga menyampaikan dan memaparkan kontribusi sosial LDII di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya serta lingkungan, “LDII memiliki berbagai kontribusi, dari karya lembaga, struktural, kelompok, hingga individu. Rapimnas ini menjadi ajang untuk memperkenalkan apa yang sudah dilakukan LDII kepada bangsa dan negara Indonesia,” ujar Prasetyo Soenaryo. Menurutnya karya-karya tersebut harus diketahui oleh sesama warga LDII juga oleh rakyat Indonesia, dengan demikian LDII tak hanya menjadi milik pengurusnya saja, tapi juga warganya.
Menurut Prasetyo Soenaryo kontribusi sosial ormas pasca reformasi merupakan keniscayaan, bahkan harus ditingkatkan. Hal itu disebabkan setiap pemimpin memiliki kewajiban untuk melaksanakan amanah pembukaan UUD 1945, namun ketika presiden sudah tak lagi menjadi mandatari MPR dan di saat yang bersamaan Indonesia tak lagi menjalankan Garis Besar Haluan Negara (GBHN), maka ormas harus berperan lebih aktif.
“Tanpa peran aktif ormas, parpol yang kemudian menempatkan eksekutif dan legislative akan menjalankan negara dengan logika politiknya yang belum tentu menyejahterakan rakyat. Untuk itu, tanpa GBHN yang dibuat MPR, maka ormas harus pro aktif menyampaikan aspirasinya berdasarkan temuan di lapangan dalam bentuk kegagalan, keberhasilan, dan kebutuhan pembangunan. Agar capres ini mengerti apa sih kebutuhan rakyatnya,” papar Prasetyo Soenaryo.
Pesan LDII kepada seluruh capres adalah mereka harus peduli dengan pembangunan akhlak bangsa untuk membentuk karakter bangsa. Sebab saat ini, menurut Prasetyo, sebagian rakyat Indonesia kian menjauh dari falsafah dan dasar negara dalam bentuk Pancasila. Arus modernisasi yang diikuti westernisasi membuat bangsa Indonesia kehilangan jati dirinya sebagai sebuah bangsa, “Saling menghormati, gotong royong, tepo seliro semakin ditanggalkan berubah menjadi individualistis dan mementingkan diri sendiri. Hal ini bbahkan terbawa dalam kehidupan berpolitik,” ujar Prasetyo.
Pembangunan karakter dan moral bangsa ini menurut DPP LDII tak boleh sekadar retorika atau wacana, namun harus dipraktikkan alias membumi. Perilaku elit politik dalam legislatif yang mementingkan diri sendiri dan jauh dari kebutuhan rakyat, mengakibatkan produk undang-undang yang dihasilkan tak sepenuhnya menjalankan pembukaan UUD 1945, yang menyatakan negara ini dibangun untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyatnya, “Bahkan produk UU pascareformasi menguntungkan pihak asing,” ujar Prasetyo Soenaryo. Calon eksekutif dan legislative masa mendatang harus mampu mengevaluasi berbagai perundangan yang justru bertentangan dengan tujuan pendirian NKRI.
DPP LDII dalam Rapimnas ini mengharapkan presiden dan legislator yang baru nanti memperhatikan dan memperjuangkan lima sektor, antara lain: 1. Terwujudnya kedaulatan pangan dan energi; 2. Terwujudnya kedaulatan finansial; 3. Terwujudnya kedaulatan teritorial; 4. Terwujudnya kedaulatan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). “Kedaulatan menjadi sangat penting karena pascareformasi, iptek termarjinalisasi oleh hiruk pikuk politik. Padahal negara yang baru maju seperti Indonesia dihargai bukan karena demokrasinya tapi karena kemampuan ipteknya. Negara maju di seluruh dunia, mengutamakan teknologi. Proses demokrasi tanpa penguasaan teknologi, negara akan sulit menyejahterakan rakyatnya,” ujar Prasetyo Soenaryo.
Menurutnya negara demkratis adalah negara berteknologi. Demokrasi harus melahirkan peningkatan dan penguasaan teknologi, bila tidak demokrasi hanya untuk demokrasi, hanya utuk sekadar memenuhi prodesur negara demokrasi. Padahal kemakmuran rakyat merupakan produk energi, “Swasembada pangan bisa diraih dengan teknologi pertanian, kemandirian energi bisa diraih dengan teknologi energi. Untuk itu LDII mengajak berhenti untuk mempolitisasi pangan dan energy,” ujar Prasetyo.
Tanpa penguasaan energi, selamanya bangsa ini akan selalu ribut dengan urusan pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak. Negara-negara maju karena menguasai teknologi energi, relative tidak bergolak ketika harga minyak bumi naik, “Karena mereka terus melakukan inovasi untuk menghemat energi atau terus inovasi dengan energi alternatif,” ujar Prasetyo. Negara selama ini tak memiliki upaya untuk menyeimbangkan supply and demand dalam urusan energi. “Bangsa Indonesia seperti tidak memahami bahwa energi komoditas strategis bukan politis. Bila bangsa ini memahami energi adalah komoditas strategis, pemerintah akan selalu melakukan inovasi untuk menghemat energy, bukan ribut dan sibuk urusan subsidi dan tidak subsidi,” kata Prasetyo Soenaryo. (LINES)