Oleh: H. Budi Muhaeni
Anggota Dewan Penasehat DPD LDII Kota Balikpapan
Kita sering membicarakan kepemimpinan sebagai seni mengarahkan: sebuah keahlian dalam menentukan arah dan menavigasi bahtera organisasi menuju pelabuhan impian. Dalam literatur kepemimpinan modern, tugas utama seorang pemimpin adalah merumuskan visi, menjelaskannya secara terang, meyakinkan orang-orang akan urgensinya, dan bersama-sama menyusun misi serta strategi untuk mencapainya.
Namun, di balik kerangka teoritis yang tampak teknokratis dan pragmatis itu, tidakkah kita merasakan adanya dimensi yang lebih agung? Sebuah sentuhan spiritual yang sering kali tak terucapkan?
Pemimpin sejati tidak lahir hanya dari hasil perhitungan manusiawi. Dalam keyakinan spiritual, pemimpin terpilih adalah bagian dari skenario takdir (qadarullah)—ditetapkan dan diizinkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seolah ada sentuhan Ilahi yang mengusap ubun-ubunnya, mengalirkan ilham dan hikmah dalam setiap langkahnya. Dari sanalah visi muncul: bukan sekadar cetak biru masa depan, tetapi percikan cahaya dari langit yang membimbing arah perjalanan kolektif.

Visi: Cahaya dari Langit yang Perlu Dibumikan
Namun, seperti bintang di langit malam, visi kerap terlalu tinggi untuk langsung dipahami semua orang. Ia bicara tentang masa depan yang belum terjamah, potensi yang masih terpendam. Karena keagungannya, visi kerap disalahpahami—bahkan menjadi bahan cemoohan. Maka, tugas besar seorang pemimpin bukan hanya merumuskan visi, tetapi juga membumikannya: menerjemahkan kompleksitas ide menjadi narasi yang sederhana, menyentuh, dan membumi agar dapat dipahami dan diterima oleh setiap individu.
Sebab, bagaimana mungkin kita meraih bintang jika kaki tidak berpijak pada bumi?
Musyawarah: Denyut Nadi Perjalanan Kolektif
Di sinilah musyawarah menemukan makna paling dalam. Jika visi adalah kompas penunjuk arah, dan misi serta strategi adalah peta jalan perjuangan, maka musyawarah adalah denyut nadi yang menggerakkan langkah-langkah nyata. Ia adalah ruang dialog yang inklusif: tempat gagasan bertemu, perbedaan disatukan, dan keputusan diambil bersama—bukan dari satu kepala, tapi dari kedalaman kolektif.
Al-Qur’an telah menegaskan urgensinya:
“…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.”
(QS. Ali ‘Imran: 159)
Ayat ini bukan hanya perintah, tetapi juga petunjuk agung tentang bagaimana seharusnya seorang pemimpin menjalankan kepemimpinannya—dengan melibatkan, mendengarkan, dan merangkul.
Semakin tinggi dan mulia visi yang dicanangkan, semakin besar pula tantangan dalam mewujudkannya. Jalan menuju bintang penuh dengan ujian: semangat yang tak boleh padam, perjuangan yang tak kenal lelah, pengorbanan tanpa pamrih, kesabaran yang luas, dan optimisme yang tidak gentar menghadapi badai zaman. Dan semua itu hanya mungkin dilakukan oleh barisan pemimpin dari setiap generasi yang menghidupkan budaya musyawarah sebagai mata air kebijaksanaan yang tak pernah kering.
Musyawarah: Penjaga Kearifan Lintas Generasi
Zaman terus berganti. Generasi datang dan pergi. Sebuah pepatah bijak mengingatkan, “Setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya.” Dalam siklus kehidupan yang terus berputar, musyawarah menjadi jangkar peradaban. Ia menjaga warisan nilai, menyambungkan hikmah lintas waktu, dan memastikan bahwa keputusan tidak diambil secara semena-mena atau terburu-buru.
Di ruang musyawarah, setiap suara memiliki hak untuk terdengar. Setiap individu diberi ruang untuk menyampaikan pendapat, berdasarkan ilmu, intuisi, maupun konteks zamannya. Di sinilah letak kemuliaan musyawarah: tidak ada gagasan yang dianggap remeh, tak ada pandangan yang sia-sia. Semua menjadi bagian dari pertimbangan, dan dari sanalah keputusan terbaik diambil.
Musyawarah juga membebaskan pemimpin dari kesombongan dan kesendirian. Tak ada keputusan yang ditanggung sendiri. Tak ada rasa paling benar. Keputusan lahir dari kebersamaan, dari kontribusi kolektif, demi menggerakkan tindakan menuju visi besar yang awalnya hanya angan—dan kini perlahan menjadi nyata.
Musyawarah sebagai Jalan Ilahiah
Sebuah hikmah kuno berkata:
“Tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah, dan tidak akan rugi orang yang beristikharah.”
Ini bukan sekadar pepatah, melainkan cerminan keyakinan bahwa ketika kita melibatkan banyak pikiran dan hati dalam mengambil keputusan, kita memperkecil ruang penyesalan dan memperbesar kemungkinan keberhasilan.
Musyawarah bukan hanya prosedur organisasi. Ia adalah ekspresi kepercayaan pada kebersamaan. Ia adalah jembatan dari langit ke bumi—menyambung visi yang mulia dengan realitas kehidupan.
San Francisco, 11 Juni 2024