Mark D Clark: LDII Contoh yang Baik dalam Hubungan Negara dan Ormas
JAKARTA – LDII kedatangan tamu istimewa Mark D Clark seorang konselor politik Kedutaan Besar (Kedubes) AS di Jakarta pada Kamis, (6/11/2014). Clark mendatangi kantor DPP LDII di Jalan Tentara Pelajar 28A, Patal Senayan, Jakarta Selatan, untuk lebih mengenal LDII dalam fungsinya sebagai penguatan masyarakat sipil di Indonesia.
Clark menyadari dalam alam demokrasi, masyarakat sipil merupakan tulang punggung dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Konsep inilah yang oleh intelektual Indonesia sebagai masyarakat madani, di mana masyarakat menghimpun diri dalam ormas, lalu menjadi mitra pemerintah dalam pembangunan.
Kedatangan Clark boleh dikata kunjungan balasan. Ia pernah mengundang ormas-ormas Islam di kediamannya, sesaat setelah ditugaskan di Indonesia. Saat itu ia menjanjikan akan berkunjung ke setiap ormas yang ia undang. Sementara, bagi LDII, kunjungan Clark menjadi penting untuk menyosialisasikan Islam di Indonesia, yang cinta damai, toleran, dan mendukung terciptanya keberadaban sipil.
“Jurang informasi antara Islam dan Barat, terlanjur lebar. Perlu titik temu, agar terjadi kesepahaman. Bahwa Islam adalah agama yang damai dan tak menolak modernitas, sementara Islam juga tak harus menolak atau curiga berlebihan begitu mendengar kata Barat,” ujar Ketua DPP LDII Prasetyo Soenaryo yang dalam pertemuan itu menjadi juru bicara.
Clark yang telah bertugas di berbagai negara, mempertanyakan perbedaan LDII dengan ormas Islam lainnya. Ia juga perhatian terhadap basis massa LDII, organisasi kepemudaannya, dan keilmuan LDII. “LDII adalah ormas yang nonprofit yang mengedepankan peningkatan SDM yang profesional religius dan memiki perhatian besar dalam menjaga kerukunan umat beragama,” ujar Prasetyo Soenaryo dalam presentasinya. Dalam pemaparannya, Prasetyo menekankan, LDII menolak segala bentuk kekerasan atas nama agama sebagaimana yang dilakukan ISIS di Timur Tengah.
Menurut Prasetyo tak ada alasan dan tak ada tempat kekerasan atas nama agama di Indonesia, karena umat Islam di Indonesia memiliki kebebasan menjalankan ritual agamanya. Justru, LDII selain menjalankan ritual ibadahnya, mampu melakukan kontribusi sosial. Bahkan LDII mengedepankan empat pilar kebangsaan, berupa Pancasila, UUD 45, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. “Sementara warga LDII di luar negeri menyesuaikan dengan konstitusi negara setempat sepanjang memiliki hak-hak beribadah,” ujar Prasetyo Sunaryo.
Dalam pertemuan itu Prasetyo menjelaskan, LDII dengan ormas Islam lainnya memiliki kesamaan, yakni mendakwahkan ajaran Islam. Di antara berbagai kesamaan itu, setiap ormas memiliki penekanan-penekanan tertentu, “NU dikenali karena memiliki pesantren-pesantren ternama, Muhammadiyah dikenali sebagai ormas yang bergiat dalam pendidikan dan kesehatan. Sementara LDII memadukan keduanya, sehingga menghasilkan insane yang profesional religius,” ujar Prasetyo.
“LDII dengan basis keilmuannya di Kediri, menghasilkan mubaligh yang merawat religiusitas warga LDII, yang didukung keberadaan majelis taklim yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia bahkan di luar negeri. Selain itu terdapat Majelis Taujih Wal Irsyad dan Dewan Pakar LDII yang senantiasa menjaga profesionalitas dan religiusitas warga LDII,” demikian Prasetyo Sunaryo menjelaskan.
Pada sesi selanjutnya, pemaparan dilakukan dengan presentasi kegiatan LDII, mulai dari penyelamatan lingkungan melalui Go Green, kepanduan, kepemudaan, gerakan antinarkoba, dan lain-lain. Clark menggarisbawahi, peran LDII dan ormas-ormas Islam lainnya sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Pertemuan ini berharga dan bermanfaat, seharusnya sudah dilakukan dari dulu. Peran ormas di Indonesia, sebagaimana di Amerika Serikat sangat berpengaruh positif baik di sektor ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam hal ini, LDII menjadi contoh yang baik dan kesempatan ini menjadi pembukaan untuk melakukan kerjasama kedepannya. Kami sangat terbuka terhadap ide dari LDII dan peluang kerjasama,” ujar Mark D. Clark.
Mark D. Clark lalu mempertanyakan sikap politik LDII dalam berbagai tema aktuap perpolitikan di tanah air, salah satunya mengenai dualisme di DPR. “Kami melihat, meskipun Indonesia memiliki sistem demokrasi terbesar namun perilaku politikusnya tidak mencerminkan demokrasi. Hal ini mengakibatkan anomaly demokrasi,” ujar Ketua DPP LDII Chriswanto Santoso menanggapi pertanyaan Clark.
Mark D. Clark berpendapat anomali demokrasi itu disebabkan Indonesia negara yang baru belajar demokrasi, meskipun memiliki kemajuan yang hebat. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang sudah berdemokrasi hampir 200 tahun. Kegaduhan politik yang terjadi di DPR merupakan hal yang biasa terjadi sebagaimana di Amerika antara Partai Republik dan Partai Demokrat.
“Dalam konteks demokrasi, kegaduhan mungkin terjadi. Selama tujuannya baik dan memajukan kepentingan rakyat. Demokrasi pada akhirnya berekses pada kompromi, Saya optimis Indonesia bisa maju setelah selama 16 tahun ini menjalani demokrasi langsung dengan tingkat partisipasi rata-rata yang tinggi,” ujar Clark. Jika melihat AS, yang menggunakan sistem dua kamar berupa house of representatif (DPR) dan senate (DPD) terjalin komunikasi yang baik terhadap kosntituen mereka.
“Terdapat kantor yang aktif di negara bagian tempat mereka terpilih. Ketika hari libur pun mereka kembali ke negara bagian masing-masing untuk bertemu konstituen, sehingga konstituen merasa dihargai,” jelas Mark D. Clark
Demikian ekses demokrasi, meski demokrasi memiliki manfaat yang baik akan tetapi pada taraf pelaksanaannya bergantung pada kemampuan masing-masing negara. Indonesia dibandingkan dengan Amerika, jelas demokrasinya jauh lebih muda, namun bisa dibilang perkembangan demokrasinya cukup pesat. Hanya saja partisipasi dan komunikasi antara representatif dan konstituen yang perlu diperkuat, agar kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah khususnya lembaga legislatif bertambah kuat, ditambah penerapan good governance pada lembaga eksekutif dan yudikatif pemerintah Indonesia. Begitu kata Clark. (Khoir/Reza/LINES)