Nasional

LDII Mendorong Rekonsiliasi Nasional

JAKARTA – Idul Fitri tahun ini bersimpangan dengan tahun politik, berupa Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Umum Presiden (Pilpres). Pilpres mendapat perhatian yang lebih karena hanya memunculkan dua kubu: Prabowo-Hatta dan Jokowi-Jusuf Kalla. Konsekuensi logis dari dua pilihan ini masyarakat terpolarisasi hanya dalam dua kutub, yang menimbulkan ketegangan, yang hingga kini belum surut. Ketegangan yang terus-menerus serta ekspos media — membuat masyarakat turut terbelah sebagaimana elit politik. Selain itu, Idul Fitri 2014 bertepatan pula dengan Hari Ulang Tahun ke- 69 Republik Indonesia.

Secara sosiologis, Idul Fitri yang diapit dua tema besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seharusnya mampu mendorong rekonsiliasi nasional. Pascapilpres yang penuh ketegangan, Idul Fitri adalah semacam penyejuk, lalu HUT RI menjadi daya untuk membangkitkan semangat membangun bangsa dan negara, sesuai cita-cita para pendiri bangsa untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Melihat kondisi bangsa yang terbelah akibat Pilpres 2014, maka LDII mendorong sebuah rekonsiliasi nasional dengan menggelar silaturahim dengan mengundang para tokoh bangsa, ormas, tokoh lintas agama, dan TNI/Polri. Acara yang dihelat di Gedung DPP LDII Jalan Tentara Pelajar 28A (Patal Senayan) Jakarta Selatan, pada 19 Agustus 2014, mengambil tema “Dengan Silaturahim Syawal Membangun Kelestarian Ukhuwah Islamiyah, Basyariah, dan Wathaniyah.”

“Kami memandang bahwa ukhuwah Islamiyah berarti persaudaraan yang bersifat islami atau yang diajarkan oleh Islam. Islam mengajarkan persaudaraan itu mendorong terjadinya kerukunan dan keteraturan sosial, tanpa memandang sekat suku, ras, dan agama,” ujar Ketua DPP LDII Prof DR Ir KH Abdullah Syam, MSc. Menurut Abdullah Syam, semua agama samawi meyakini bahwa umat manusia berasal dari Nabi Adam AS dan Hawa,

“Kita adalah satu bangsa, untuk itu sangat penting menjaga ukhuwah wathaniyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan. Untuk itulah bangsa Indonesia dalam momentum Idul Fitri kian menyadari ukhuwah basyariyah, bahwa seluruh umat manusia adalah bersaudara,” papar Abdullah Syam.

Bangsa ini telah melakukan perjalanan panjang dalam dinamika global. Di era kolonial, bangsa ini terdiri dari berates-ratus kerajaan. Kemudian menyatu karena perasaan senasib dan sebangsa, hingga momentumnya lahir pada 17 Agustus 1945, yang melahirkan satu bangsa dan negara baru: Indonesia.

“Dengan pengalaman yang panjang itu, seharusnya ketegangan bangsa ini berhenti setelah penghitungan suara. Konsekuensi demokrasi, maka suara terbanyak yang menang. Namun pemenang harus dikontrol oleh seluruh elemen bangsa Indonesia,” ujar Ketua DPP LDII Ir H Prasetyo Soenaryo, MT.

Perselisihan yang berlarut-larut hanya membuat bangsa Indonesia lemah, mudah diadu domba dan dikuasai. Persatuan dan kesatuan itulah yang menurut Prasetyo Soenaryo menjadi fokus para pendiri bangsa.

“Kejatuhan kerajaan-kerajaan besar di nusantara, karena tak adanya persatuan dan kesatuan. Jangan sampai bangsa ini berpecah belah karena perbedaan pandangan politik,” imbuh Prasetyo Soenaryo.

Sementara itu Ketua DPP LDII Ir Chriswanto Santoso, MSc menyatakan ukhuwah Islamiyah, basariyah, dan wathaniyah hanya bisa terwujud bila setiap elemen bangsa, terutama ormas sebagai representasi masyarakat madani, harus melakukan taaruf atau saling kenal.

“Dengan saling mengenal bisa menciptakan kondisi taafahum atau saling memahami. Saling memahami adalah yang terpenting untuk menciptakan empati, tenggang rasa, dan saling menghormati,” ujar Chriswanto. Dengan saling memahami bangsa Indonesia bisa saling taawun atau tolong menolong, yang kemudian disusul takaful atau saling menjamin.

“Sejatinya seperti itulah pemikiran Rasulullah, yang selaras dengan pemikiran para pendiri bangsa,” ujar Chriswanto Santoso. Sifat saling menghormati, tenggang rasa, dan saling membantu adalah sifat yang melekat dalam sosiologi masyarakat nusantara. Alhasil, Idul Fitri adalah semacam pengingat agar bangsa ini kian mengukuhkan persatuan dan kesatuan.

“Jadi lupakan hasil Pilpres, jauhkan rasa sakit hati. Siapapun pemenang Pilpres mari kita kontrol mereka dalam bekerja dan mari bersama membangun bangsa Indonesia,” ujar Chriswanto. (LC/LINES)┬á

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *