Nasional

Melihat Kembali Implementasi Cetak Biru Swasembada Pangan 2014

Ilustrasi. Foto AFP.
Ilustrasi. Foto AFP.

NASIONAL – Sebutan negeri agraris menjadi beban tersendiri bagi Indonesia. Pasalnya, hanya pada 1984 negeri ini merasakan swasembada beras. Selebihnya, hingga kini Indonesia harus takluk pada impor pangan. Pemerintah sejatinya tak tinggal diam. Cetak biru swasembada pangan telah dibuat. Bagaimana hasilnya?

ÔÇ£Kita telah melakukan swasembada beras dan jagung. Kemudian gula, kecuali gula industri,ÔÇØ ujar Menko Perekonomian Hatta Rajasa. ÔÇ£PR pemerintah selanjutnya adalah swasembada komoditas daging sapi dan kedelai. Namun ketika pemerintah sedang bekerja keras, swasembada pangan justru berhadapan dengan perdagangan bebasÔÇØ,tambahnya.

Perdagangan bebas bisa menjadi penyebab runtuhnya swasembada pangan di Indonesia. Contohnya saja kedelai, pasar bebas belum dibuka, harga kedelai telah mencapai Rp 8.900 sampai Rp 10.000. Padahal pada Oktober 2012 sampai Januari 2013 masih berkisar Rp 6.750 ÔÇô Rp 7.400 per kilogram. Berarti selama 9 bulan ini telah terjadi kenaikan antara Rp 2.000 ÔÇô Rp 3.000 per kilogram.

Kenaikan harga ini berkorelasi dengan kebijakan pemerintah melakukan impor. Pemerintah menilai, produk kedelai lokal tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Saat ini, produksi Indonesia baru sekitar 800.000 ton dibandingkan kebutuhan 2,5 juta ton.

Selain itu, menurut Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan, Indonesia hanya mempunyai 570 ribu hektar lahan kedelai. Dengan jumlah lahan yang terbatas, Indonesia hanya mampu memprodusi 700-800 ribu ton. Alasan lain, produktifitas kedelai lokal dinilai masih rendah. Rata-rata setiap hektar lahan kedelai di Indonesia hanya mampu memproduksi 1,5 ton. Padahal di Amerika setiap hektar lahan bisa mencapai 3 ton hingga 3,5 ton.

Selanjutnya harga kedelai lokal yang rendah membuat para petani menjadi tidak bergairah. Para petani lebih memilih menanam padi atau jagung. Sehingga, semakin lengkap pula penyebab produksi kedelai rendah. Pemerintah pada akhirnya memberlakukan pembebasan bea masuk impor kedelai dan kemudahan impor. Pemerintah menilai impor tersebut hanya bersifat sementara untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.

ÔÇ£Masih banyaknya pemerintah melakukan impor bahan pangan bukan semata tidak bisa menjaga kedaulatan pangan nasional. Pasalnya, impor tersebut hanyalah bersifat sementara di tengah terjadinya kekurangan dan gangguan di beberapa komoditas,ÔÇØ ujar Hatta Rajasa.

Daging Sapi Masih Mahal
Pemeritah optimis bakal swasembada daging sapi, saat BPS dan Kementerian Pertanian memperoleh data jumlah ternak sapi di Indonesia mencapai 14,8 juta ekor, pada 2011. Realitanya Indonesia malah kekurangan pasokan sapi sehingga harga daging sapi pun melambung tinggi.

Pada akhirnya pemerintah menempuh menerbitkan izin impor daging prime cut tanpa kuota, impor 3.000 ton daging beku yang dijalankan bulog dan impor 25 ribu ekor sapi siap potong. Cetak biru pun diabaikan. Impor ini melampaui target impor daging pada 2013, yang hanya hanya sebesar 72,13 ribu ton.

Melihat kondisi demikian, Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana mengatakan pemerintah harus terlebih dahulu secara resmi mengatakan swasembada daging belum tercapai. Sebab program ini merupakan dokumen negara yang sudah didukung APBN, sehingga ketika terjadi inkonsistensi harus ada pernyataan resmi dari pemerintah.

Teguh Boediyana mengungkapkan, penambahan kuota impor misalnya, menunjukkan pemerintah tidak konsekuen. Dalam hal ini tidak melihat apakah Kementerian Perdagangan (Kemdag) atau Kementerian Pertanian (Kemtan) yang menyatakan akan adanya penambahan kuota, tetapi melihatnya adalah pemerintah. Cetak biru swasembada daging sapi merupakan dokumen negara yang telah disusun dengan tidak sembarangan dan telah didukung APBN.

Dia menambahkan, keputusan pemerintah menugaskan Perum Bulog untuk mengimpor daging sapi beku, dan dikeluarkannya Keputusan Menteri Perdagangan No 699/2013 tentang Stabilisasi Harga Daging Sapi, menunjukkan kepanikan dan sebagai kebijakan darurat sepihak. Kenyataannya, dua kebijakan itu tidak efektif, dan akhirnya hanya memberi keuntungan kepada para importir yang memperoleh kemudahan dari Menteri Perdagangan.

Teguh memaparkan, kebijakan terakhir yang diterbitkan pemerintah tentang daging sapi (terkait dengan kebijakan ekonomi untuk merespon menurunnya nilai ruliah terhadap dolar) adalah mengubah tata niaga daging sapi dari kuota menjadi berbasis harga. Harga daging sapi dipatok Rp 76.000 per kilogram. Apabila terjadi kenaikan harga 15%, maka pemerintah membuka keran impor sampai harga mencapai 5% di bawah harga referensi.

Menurut Dr Ir H Shobar Wiganda, MAgrSc Ketua DPP LDII, Dosen PTS Bidang Pangan dan Gizi kemauan dan kepemimpinan itu harus ditunjukkan dalam sebuah strategi ketahanan pangan yang menjadi visi dan pegangan bersama seluruh penyelenggara negara, dari pusat hingga daerah. Namun hingga saat ini, reformasi agraria masih menjadi wacana. Produksi pangan membutuhkan lahan, sedang petani Indonesia rata-rata hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 ha. Selain itu, urusan pangan melibatkan banyak pihak, mulai dari pihak yang bertanggung jawab terhadap reformasi agraria, produksi pangan, hingga tata niaga dan logistik.

Menurut Shobar Wiganda kedaulatan pangan tercapai jika sebagian besar kebutuhan pangan dipenuhi di dalam negeri. Impor tidak sampai membuat Indonesia kehilangan kedaulatan. Sedang ketahanan pangan mengacu pada ketersediaan pangan berkualitas dan jumlah yang cukup dengan harga terjangkau. Selain itu pangan di Indonesia tidak hanya menyangkut produksi dan produktivitas. Biaya logistik di Indonesia saja mencapai 20% dari Produk Domestik Bruto (PDB), sedang rata-rata biaya logistik di negara-negara Asean hanya 6-10% dari PDB.

ÔÇ£Impor pangan di Indonesia mencapai 15% dari kebutuhan. Nilai impor pangan tahun 2012 sebesar Rp 250 triliun atau 50% dari total impor. Ini sebuah bisnis yang besar yang menyebabkan ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan agak berlebihan. Sebab jika ditotal, ekspor pangan meliputi produk pertanian, peternakan, perikanan dan perkebunan jauh lebih besar dari imporÔÇØ ,tambah Sobar.

Impor dari sejumlah produk pangan strategis sangat memengaruhi opini publik. Di lain sisi, publik hanya memperhatikan komoditas strategis seperti beras, kedelai, gula, jagung, dan daging. Selama produk strategis ini masih diimpor, publik akan menilai bahwa Indonesia belum mencapai kemandirian pangan.

ÔÇ£Oleh karena itu maka kita harus terus berupaya menerapkan beberapa kebijakan dan strategi yang tepat untuk mencapai ketahanan pangan kita,ÔÇØ ujar Shobar. Melihat kondisi demikian dari target swasembada pangan, khusunya lima komiditi andalan sudah seharusnya pemerintah selalu rasional dan fokus dalam menghadapi berbagai permasalahan dari program yang telah ditetapkan.

Apakah implementasi Kementrian Pertanian yang menargetkan swasembada lima komoditas pada tahun 2014 seperti beras, jagung, kedelai, daging dan gula rafinasi dengan mengalokasikan anggaran sebesar Rp 8,23 triliun untuk pencapaian program swasembada nasional nantinya akan berhasil?.

Tentu Pemerintah perlu fokus dalam mencapai target, pengalaman selama ini menunjukkan kita masih sulit fokus. Ditengah jalan program meleset sedikit, Impor langsung menjadi pilihan pintu terakhir. Padahal bila melihat berbagai aspek, mulai dari jumlah penduduk hingga dukungan sumber daya alam yang besar, sebenarnya Indonesia mampu mencapai kedaulatan dan ketahanan pangan.

Penulis: Frediansyah Firdaus
Editor: Dhica Wellyca

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *