Selangkah Lagi, LDII Laksanakan Hisab Rukyat Mandiri
JAKARTA – Pemerintah melaksanakan sidang itsbat pada Senin (8/7/2013) yang dihadiri 36 ormas Islam di kantor Kementerian Agama, Jl MH Thamrin Jakarta. LDII menjadi salah satu undangan sidang tersebut. Dan yang mengemuka dari sidang isbat kali ini adalah perlunya kriteria-kriteria yang disepakati bersama, agar tahun depan umat Islam bisa bersamaan dalam mengawali puasa Ramadan dan merayakan Idul Fitri.
LDII telah dua kali menjadi tamu undangan Kementerian Agama untuk menghadiri sidang itsbat dalam penentuan awal Ramadan. Ini merupakan langkah awal LDII membentuk SDM mumpuni di bidang ilmu perbintangan atau falaq. LDII sejatinya sama halnya dengan ormas Islam lainnya, yang kesulitan dalam melakukan kaderisasi ilmu perbintangan, lantaran peminatnya sangat jarang.
Bahkan di LDII baru tiga tahun ini membentuk embrio Tim Hisab Rukyat DPP LDII. Dalam sidang tersebut LDII mengutus anggota Tim Hisab Rukyat DPP LDII, Drs KH Aceng Karimullah dan Ir Yurinaldi dari Dewan Pakar DPP LDII. LDII dalam menyiapkan Tim Hisab Rukyat dalam dua tahun terakhir kerap melakukan pelatihan dengan bekerjasama dengan Kementerian Agama, baik secara teori maupun praktik mengamati pergerakan bulan untuk melihat hilal di Pelabuhan Ratu, yang merupakan pos resmi observasi Kementerian Agama.
Misalnya pada 22-23 Juni 2013 lalu, DPP LDII berinisiatif mengadakan pelatihan hisab dan rukyat bekerjasama dengan Kementerian Agama Republik Indonesia. Tujuannya agar LDII nantinya dapat memberi masukan dalam sidang Istbat kepada pemerintah. LDII kini telah melengkapi Tim Hisab Rukyat dengan teropong bintang, selain itu DPP LDII sedang memilih lokasi untuk pengamatan hilal secara permanen.
Dalam sidang tersebut 36 Ormas Islam termasuk DPP LDII menyepakati bahwa awal Ramadhan jatuh pada tanggal 10 Juli 2013. Hal tersebut bersesuaian dengan keputusan sidang itsbat Kementerian Agama. Anggota Istbat Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama, Cecep Nurhidayat, dalam pemaparannya menjelaskan ijtimak telah berlangsung, bahwa di bulan Juli bulan dan matahari terbenam secara bersamaan, ÔÇ£Namun karena wilayah Indonesia berada di posisi negatif, bulan lebih dulu terbenam dibanding matahari, maka dengan ilmu apapun hilal tidak akan tampak,ÔÇØ kata Cecep Nurhidayat.
Pengamatan ini berkesesuaian dengan pengamatan petugas resmi Kementerian Agama di 33 provinsi yang berjumlah 36 orang. Mereka tak melihat hilal, ÔÇ£Dengan demikian pemerintah memutuskan awal Ramadan jatuh pada tanggal 10 Juli,ÔÇØ kata Menteri Agama Suryadharma Ali. Penglihatan ini berdasarkan kesepakatan ormas Islam dan pemerintah, posisi hilal harus pada 2 derajat.
Menurut Ketua Komisi Fatwa Maruf Amin, penentuan 2 derajat untuk menyatakan penampakan hilal sebagai awal pergantian bulan, tidak ada dalam kitab apapun, namun ini adalah kesepakatan mayoritas umat Islam. Namun untuk menentukan dan memutuskan pergantian bulan harus melalui sidang itsbat oleh ulil amri atau yang memiliki perkara, dalam hal ini pemerintah.
Maruf Amin mencontohkan, di zaman Nabi Muhammad SAW, semua umat Islam masing-masing boleh melihat dan menentukan hilal. Namun pengumuman dan penentuan resminya tetap berada di tangan Nabi Muhammad SAW. ÔÇ£Tujuannya, salah satunya adalah agar terjalin kebersamaan dan kekompakan umat Islam dalam menjalankan ibadah di bulan suci Ramadan,ÔÇØ papar KH Maruf Amin.
Sependapat dengan Maruf Amin, KH Aceng Karimullah membenarkan bahwa tak setiap orang boleh mengumumkan hasil penglihatan hilal. Harus ada lembaga resmi atau ulil amri, apalagi puasa adalah ritual ibadah umat. Maka itu, sejak dulu LDII menyerahkan urusan hisab rukyat kepada pemerintah, ÔÇ£Alasannya pemerintah memiliki SDM dan peralatan yang memadai,ÔÇØ pungkas KH Aceng Karimullah. Namun tak menutup kemungkinan LDII juga akan melakukan pengamatan secara mandiri, untuk memberi masukan kepada pemerintah mengenai pelaksanaan awal Ramadan dan Syawal.
Sejak era reformasi telah berkali-kali umat Islam berselisih mengenai pelaksanaan puasa. Perbedaannya dalam rentang waktu tiga hari. Sebagian menurut KH Aceng menggunakan metode pasang surut air laut, sebagian melakukan metode wujudul hilal dan sebagian lagi rukyatul hilal. Metode yang digunakan nyaris sama namun beda pendefinisian. Ada yang beranggapan pergantian bulan sudah bisa dilaksanakan berdasarkan hitungan waktu atau hisab, adapula yang harus melihat dengan mata telanjang maupun dibantu teropong.
ÔÇ£Mereka yang menggunakan hisab, tak menggunakan ukuran 2 derajat. Sementara yang rukyatul hilal berdasarkan kesepakatan hilal harus terlihat di 2 derajat,ÔÇØ papar KH Aceng Karimullah. Toh meskipun perbedaan ini rahmat, tapi sebagian besar ormas Islam menginginkan adanya kebersamaan. Profesor Thomas Jamaluddin pakar astronomi Kementerian Agama sependapat mengenai kebersamaan itu. Dia mengusulkan adanya kriteria atau syarat-syarat yang dijadikan standar bersama untuk menentukan hilal.
Menurutnya mereka yang menggunakan hisab juga tidak boleh diabaikan. Karena hisab sangat membantu menentukan hilal dalam pergantian tahun. Pendek kata, penggunaan dua metode ini sebaiknya diakomodir dengan menentukan kriteria. Dengan demikian tak ada lagi perbedaan untuk melaksanakan ibadah puasa, yang sangat prinsipil bagi umat Islam.
Bagi LDII kriteria ini penting untuk menciptakan ukhuwah Islamiyah, yang pasti tahun depan LDII bukan hanya sebagai undangan dan memantau sidang istbat tapi memberi masukan kepada ulil amri dalam hal ini Kementerian Agama, karena LDII telah mampu melakukan pengamatan hilal secara mandiri.(ldiimedia)